Tari Srimpi Muncar: Harmoni Putri Cina dan Filosofi Jemparingan di Kraton Yogyakarta

Tari Srimpi Muncar dari Kraton Yogyakarta menampilkan tokoh Putri Cina dan memadukan filosofi jemparingan Mataraman. Simbol ketenangan, keindahan, dan harmoni budaya Jawa–Tionghoa.

Tari Srimpi Muncar,Putri Cina,Filosofi Jemparingan,Kraton Yogyakarta,Tari Srimpi Muncar,Putri Cina,Filosofi Jemparingan,Kraton Yogyakarta,

Oleh: Kris Budiharjo – Pegiat Jemparingan Mataraman
gagrag Kraton Yogyakarta

Sebagai pegiat jemparingan gaya Mataraman Yogyakarta, saya sering melihat betapa erat hubungan antara seni tradisional Jawa. Salah satu tarian yang paling menarik perhatian saya adalah Tari Srimpi Muncar, karya klasik dari Kraton Yogyakarta yang menonjolkan tokoh Putri Cina dan sarat nilai filosofi jemparingan.


Tarian ini bukan sekadar tontonan estetis, melainkan simbol keseimbangan antara rasa, pikir, dan laku — tiga hal yang juga menjadi ruh dalam dunia panahan tradisional Mataram.


Asal-usul dan Makna Tari Srimpi Muncar

Srimpi Muncar diciptakan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono VI pada tahun 1857 dan disempurnakan pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono VIII.

Kata “Muncar” berarti bercahaya atau bersinar, menggambarkan keindahan gerak dan makna spiritualnya.


Tarian ini dibawakan oleh empat penari wanita, dengan cerita utama tentang peperangan mitologis dua dewi:

  • Dewi Adaninggar (Putri Cina)
  • Dewi Kelaswara (Putri dari Kerajaan Kelan)

Keduanya memperebutkan Wong Agung Jayengrana, seorang tokoh pria agung.


Keunikan tarian ini terletak pada tokoh Putri Cina, yang memperkenalkan unsur budaya Tionghoa ke dalam kesenian Jawa. Karena itu, Srimpi Muncar juga dikenal sebagai Srimpi Cina atau Srimpi Putri Cina.


Dalam pementasan, Dewi Adaninggar tampil dengan busana sutra cerah, motif oriental, dan riasan khas Tionghoa, sedangkan Dewi Kelaswara mengenakan busana Jawa klasik. Senjata mereka pun berbeda: Adaninggar membawa cundrik, sementara Kelaswara menggunakan keris. Gerak halus dan penuh simbol itu menggambarkan peperangan batin yang lembut namun mendalam.


Simbolisme dan Pengaruh Budaya Cina

Kehadiran tokoh Putri Cina dalam Srimpi Muncar mencerminkan keterbukaan budaya Jawa terhadap pengaruh luar.

Warna merah dan emas, aksesori kepala berbentuk bunga teratai, serta gerakan tangan yang berliuk lembut mengingatkan pada tarian klasik Tionghoa.


Akulturasi ini bukan sekadar campuran gaya, melainkan perpaduan nilai yang selaras dengan falsafah Jawa: Hamemayu hayuning bawana — memperindah dunia melalui harmoni dan keseimbangan.


Srimpi Muncar juga menjadi saksi sejarah dalam acara penting, seperti pernikahan GKR Timur dan KGPAA Mangkunegoro VII pada tahun 1920, dan kini telah diakui sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia (2022).


Kaitan Srimpi Muncar dengan Jemparingan

Sebagai pegiat jemparingan, saya melihat hubungan filosofis antara Srimpi Muncar dan panahan tradisional jemparingan Mataraman.
Keduanya lahir dari tradisi Keraton Mataram Yogyakarta dan menanamkan nilai serupa: ketenangan, kehormatan, dan pengendalian diri.

Dalam beberapa pementasan Srimpi Muncar, penari bahkan membawa busur (gandewa) dan anak panah (jemparing) sebagai properti utama.
Properti ini bukan sekadar hiasan — melainkan simbol ketajaman batin dan kesabaran jiwa, sebagaimana seorang pemanah jemparingan menembakkan panah dari ketenangan, bukan kekuatan otot.

Gerak tari yang lembut namun tegas, dan tatapan mata yang tenang, memiliki makna sama dengan prinsip “pamenthanging gandewa pamanthenging cipta” — fokus panah searah dengan fokus pikiran.

Bahkan dalam catatan tertentu, Srimpi Muncar disebut juga sebagai “Srimpi Jemparing”, menunjukkan kaitan langsung dengan panahan tradisional kraton.

Makna dan Relevansi di Masa Kini

Tari Srimpi Muncar adalah perpaduan sempurna antara kelembutan gerak dan keteguhan jiwa.
Ia menggambarkan bagaimana budaya Jawa dan Tionghoa berkelindan dengan indah di Kraton Yogyakarta — melahirkan karya seni yang tidak sekadar indah dipandang, tetapi juga mendalam maknanya.

> “Srimpi Muncar dan Jemparingan mengajarkan satu hal:
bahwa ketepatan sejati hanya datang dari ketenangan batin.”


Tari Srimpi Muncar dan jemparingan sama-sama mengajarkan keberanian tanpa kekerasan, disiplin batin, dan spiritualitas halus khas Jawa. Keduanya menjadi jembatan masa lalu dan masa kini, mengingatkan kita bahwa keindahan lahir dari ketenangan, dan kekuatan sejati berasal dari pengendalian diri.

Sebagai pelatih jemparingan, saya melihat bahwa nilai-nilai ini masih sangat relevan untuk generasi muda.
Melalui pelestarian seni dan latihan jemparingan di keraton, kita tidak hanya menjaga tradisi, tapi juga menyambung napas budaya Mataram yang berakar pada harmoni, rasa, dan budi pekerti.

Jemparingan.com

Lihat tulisan-tulisan bpk. Kris Budiharjo, disini -> DAFTAR ISI



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perbedaan WONG-WONGAN dan BANDUL dalam Sasaran Jemparingan Tradisional

Gaya Duduk Silo Panggung: Kunci Kesopanan & Teknik Memanah Tradisional Jemparingan

Tutorial Belajar Jemparingan untuk Pemula — gaya Lama & Modern