Jemparingan Yogyakarta: Panahan Tradisional Gaya Mataraman

Siang itu, di alun-alun selatan kratonYogyakarta, deretan pemanah duduk bersila dengan busur kayu di tangan. Senyap, hanya terdengar suara anak panah meluncur menuju wong-wongan yang tergantung di kejauhan. Inilah jemparingan gaya Mataraman, warisan panahan tradisional Jawa yang tak sekadar melatih ketepatan, tetapi juga menuntun hati untuk lebih sabar, tenang, dan selaras dengan kehidupan.

Jemparingan Gaya Mataraman: Warisan Panahan Tradisional Yogyakarta

Jemparingan adalah salah satu seni panahan tradisional Jawa yang hingga kini masih hidup dan berkembang, terutama di Yogyakarta dan sekitarnya. Berbeda dengan panahan modern yang menekankan kecepatan dan akurasi, jemparingan lebih menekankan tata krama, ketenangan batin, dan laku budaya.

Apa itu Jemparingan?

Secara sederhana, jemparingan berarti memanah dengan busur Jawa. Dalam gaya Mataraman Yogyakarta, seorang pemanah duduk bersila di tanah (posisi duduk sila Jawa), lalu menarik busur dengan posisi horisontal.

Target jemparingan memiliki dua istilah:

  • Wong-wongan → dipakai di dalam Kraton Yogyakarta.
  • Bandul → dipakai di luar Kraton. Dari istilah bandul inilah jemparingan di masyarakat luar kraton sering disebut juga bandulan.


Filosofi Jemparingan

Filosofi jemparingan adalah ajaran khusus dalam dunia memanah tradisional Jawa. Salah satu yang terkenal adalah:

> “Pamenthanging gandhewa, pemanthening cipta.”
(merentang busur, mengincar sasaran BUKAN dengan diincar menggunakan mata melainkan dengan hati).

Maksudnya, seorang pemanah tidak hanya meluruskan busurnya, tetapi juga meluruskan niat, pikiran, dan hatinya.

Ciri Khas Gaya Mataraman Yogyakarta

Duduk Sila: Pemain duduk di tanah bersila, berbeda dengan gaya berdiri pada panahan modern.

Busur Jawa (gandhewa): Terbuat dari kayu pilihan seperti walikukun, secang, atau barleyan. Pasca kemerdekaan, mulai digunakan juga bahan bambu petung.

Anak Panah (jemparing): Dibuat dengan teknik tradisional sederhana, namun tetap memperhatikan keseimbangan.


Sasaran Jemparingan

Sasaran utama disebut wong-wongan (orang-orangan) dengan bagian-bagian tertentu:
  • Mustoko (Kepala): bagian atas berwarna merah. Jika panah tepat mengenai mustoko → poin 3.
  • Awak/Badan: bagian bawah mustoko, berwarna putih. Jika mengenai badan → poin 1.
  • Pocong (Pantat): bola kecil digantung sekitar 10 cm di bawah wong-wongan. Jika tanpa sengaja terkena → poin -1.
Dengan sistem ini, jemparingan melatih pemanah untuk menjaga konsentrasi, ketelitian, dan kehati-hatian.

Jemparingan Hari Ini

Di Yogyakarta, komunitas jemparingan masih aktif berlatih di sasana, kraton, maupun tanah lapang. Latihan bukan hanya soal teknik memanah, melainkan juga menjaga nilai budaya Jawa agar tetap lestari.

Penutup

Sebagai pelatih jemparingan gaya Mataraman, saya percaya bahwa warisan budaya ini bukan hanya tentang tradisi, melainkan juga jalan hidup. Dengan jemparingan, kita belajar menundukkan ego, melatih kesabaran, dan menumbuhkan rasa hormat kepada alam serta sesama.



JEMPARINGAN.Com
Blog ini milik bpk Kris Budiharjo, Yogyakarta - Untuk Kalangan Sendiri



Lihat tulisan-tulisan bpk. Kris Budiharjo, disini -> DAFTAR ISI



 





Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perbedaan WONG-WONGAN dan BANDUL dalam Sasaran Jemparingan Tradisional

Gaya Duduk Silo Panggung: Kunci Kesopanan & Teknik Memanah Tradisional Jemparingan

Tutorial Belajar Jemparingan untuk Pemula — gaya Lama & Modern