Jemparingan dalam Tarian Kraton Yogyakarta: Pertarungan Epik Hanoman VS Indrajit
Dalam khazanah budaya Jawa, Kraton Yogyakarta bukan hanya simbol kekuasaan kerajaan, tetapi juga pusat pelestarian seni tradisional yang sarat makna filosofis.
Salah satu yang menarik adalah jemparingan, seni panahan tradisional gaya Mataraman yang tidak hanya menjadi olahraga, tetapi juga bagian dari pertunjukan tari seperti Sendratari Ramayana.
Tema ini semakin hidup dalam adegan pertarungan antara Hanoman dan Indrajit, yang menggambarkan keberanian, strategi, dan nilai-nilai ksatria dalam epos Ramayana.
Artikel ini akan menjelajahi bagaimana jemparingan menjadi bagian dari tarian Kraton Yogyakarta — bukan sekadar gerak tari, tetapi juga sarana untuk menanamkan filosofi hidup orang Jawa yang tetap relevan hingga hari ini.
Apa Itu Jemparingan? Sejarah dan Filosofi di Balik Panahan Tradisional
Kata jemparingan berasal dari “jemparing”, yang berarti anak panah.
Seni panahan ini lahir di era Sultan Agung dan mencapai puncaknya pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono VIII di Kraton Yogyakarta.
Berbeda dengan panahan modern yang dilakukan sambil berdiri dan mengandalkan penglihatan, jemparingan dilakukan dalam posisi duduk bersila, dengan bidikan yang lebih mengandalkan mata hati — rasa intuitif — daripada mata fisik.
Busur disebut gandewa, sedangkan sasarannya berupa silinder kecil yang dinamakan wong-wongan. Anak panahnya memiliki bagian-bagian khas seperti deder, bedor, wulu, dan nyenyep, yang semuanya mencerminkan kearifan lokal Jawa.
Sultan Agung memperkenalkan gaya memanah dengan posisi memegang busur secara horisontal, yang kemudian dikenal sebagai gaya Mataraman. Gaya ini cepat menyebar ke berbagai daerah di Jawa dan menjadi jembatan budaya antara bangsawan dan rakyat.
Bahkan, anak-anak dulu senang membantu memungut anak panah (nyucuki), dan sering mendapat hadiah kecil sebagai bentuk penghargaan.
Di masa Sri Sultan Hamengku Buwono I, jemparingan menjadi bagian dari pendidikan bangsawan di SEKOLAH TAMANAN, tempat belajar agama, ilmu pengetahuan, dan seni.
Seni panahan ini kemudian dilatih juga oleh para abdi dalem dan prajurit Kraton sebagai pembentukan watak ksatria: berani, tenang, dan bertanggung jawab.
Kini, jemparingan telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak benda Indonesia (21 Februari 2024) — menegaskan bahwa ini bukan sekadar olahraga, tetapi cara hidup yang menanamkan nilai nyawiji (fokus), greget (semangat), sengguh (percaya diri), dan ora mingkuh (tidak lari dari tanggung jawab).
Jemparingan di Kraton: Dari Halaman Bangsal ke Panggung Seni
Di masa lalu, jemparingan dimainkan keluarga Kraton di halaman Kagungan Dalem Bangsal Kemagangan.
Tradisi ini sempat vakum lama, lalu dihidupkan kembali di era Sri Sultan Hamengku Buwono ke-X melalui Paguyuban Jemparingan Gandhewa Mataram.
Latihannya dilakukan rutin di halaman Kagungan Dalem Bangsal Kamandungan Kidul, dekat Alun-Alun Selatan.
Latihan jemparingan bukan sekadar olah raga, tapi juga olah rasa.
Setiap tarikan busur adalah meditasi kecil untuk melatih ketenangan, kesabaran, dan keseimbangan batin — cerminan filosofi Jawa yang menekankan harmoni antara tubuh, pikiran, dan alam.
Sendratari Ramayana: Saat Panah Menjadi Bahasa Gerak
Kraton Yogyakarta dikenal sebagai pusat seni tari Jawa klasik.
Salah satu pertunjukan paling ikonik adalah Sendratari Ramayana, yang menceritakan kisah cinta dan perjuangan Rama dan Shinta melawan Rahwana.
Semua digambarkan dalam gerak tari yang lembut tapi penuh tenaga, diiringi gamelan, tembang, dan tata panggung yang megah.
Dalam pertunjukan ini, jemparingan tampil bukan sekadar properti atau simbol perang, tapi simbol kekuatan spiritual dan kendali diri.
Gerak penari ketika membidik dan melepaskan panah menggambarkan prinsip utama jemparingan:
“Manah ora mung nganggo tangan, nanging nganggo ati.”
Artinya, memanah bukan sekadar teknik, tapi latihan batin untuk mencapai ketepatan dan ketenangan sejati.
Hanoman vs Indrajit: Ketepatan, Keberanian, dan Kebijaksanaan
Salah satu adegan paling menegangkan dalam Sendratari Ramayana adalah pertempuran antara Hanoman dan Indrajit.
Hanoman, sang kera putih utusan Rama, dikenal dengan kelincahan dan kekuatan batinnya.
Sementara Indrajit, putra Rahwana, adalah pemanah sakti dengan busur gandewa dan anak panah ajaib.
Dalam versi Kraton, penari Indrajit memegang busur secara horisontal ala jemparingan Mataraman. Gerakannya cepat, namun tetap elegan — menandakan penguasaan diri.
Sedangkan Hanoman bergerak spontan, melompat dan menghindar, menggambarkan energi dan keberanian tanpa amarah.
Pertarungan keduanya bukan hanya perang fisik, tapi adu kecerdikan dan kesadaran batin.
Hanoman akhirnya tertangkap bukan karena kalah, tapi karena strategi Indrajit — sebuah pesan bahwa kekuatan sejati tidak selalu diukur dari kemenangan di medan laga, melainkan dari kejernihan hati dalam menghadapi tantangan.
Pelestarian dan Relevansi di Era Modern
Hingga kini, jemparingan di Kraton Yogyakarta tetap hidup sebagai warisan budaya dan bagian dari pendidikan karakter.
Bukan hanya dimainkan oleh abdi dalem, tapi juga oleh masyarakat umum — dari anak-anak, remaja, hingga komunitas budaya di berbagai daerah di Jawa, Madura dan Bali.
Sebagai orang Jawa yang menghargai tradisi, sudah selayaknya kita ikut menjaga warisan ini.
Jemparingan bukan hanya tentang panah dan sasaran, tapi tentang cara hidup — fokus, sabar, dan bersih hati.
Jadi, kalau kamu berkunjung ke Kraton Yogyakarta, jangan lewatkan pertunjukan Sendratari Ramayana.
Siapa tahu, setelah menyaksikan Hanoman dan Indrajit saling berhadapan diiringi alunan sakral gamelan, kamu ikut terinspirasi untuk menjadi penjemparing: menarik busur dan memanah dengan hati.
Jemparingan.com
Lihat tulisan-tulisan bpk. Kris Budiharjo, disini -> DAFTAR ISI
 
 
Komentar
Posting Komentar